Apabila kita mengajukan sebuah pertanyaan pada para pelajar di Sekolah Dasar "Apa yang kamu ketahui tentang Indonesia?" saya dapat menerka jawaban mereka adalah sebagai berikut,
Indonesia negara subur, kaya sumber daya alam, penduduknya banyak, lokasinya strategis dst
Tetapi ironisnya
kenyataan berkata lain. Walaupun telah merdeka 66 tahun yang lalu, Indonesia masih belum nejadi negara maju. Hal tersebut terjadi karena adanya proses sejarah yang melalui berbagai tahap mulai dari tahap mempertahankan kedaulatan atas serangan negara asing, pemberontakan di dalam negeri, hingga adanya monopoli kekuasaan yang sangat merugikan Indonesia. Lalu, bagaimana Indonesia sekarang ini? Ada sekitar 29,89 juta penduduk miskin selain itu masih banyak daerah yang mengalami kekeringan dan kelaparan. Tak kalah penting hingga 25 Juli 2011 terdapat hampir sejumlah 50 juta siswa miskin, di antaranya 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sudah sangat jelas bahwa Indonesia membutuhkan orang-orang berpendidikan (dan berakhlak mulia) untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik. Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia memiliki orang-orang tersebut? Jika "ya", mengapa Indonesia masih seperti itu? Apa yang terjadi pada para cendekiawan Indonesia? Salah satu jawaban yang dapat muncul adalah Brain Drain.
kenyataan berkata lain. Walaupun telah merdeka 66 tahun yang lalu, Indonesia masih belum nejadi negara maju. Hal tersebut terjadi karena adanya proses sejarah yang melalui berbagai tahap mulai dari tahap mempertahankan kedaulatan atas serangan negara asing, pemberontakan di dalam negeri, hingga adanya monopoli kekuasaan yang sangat merugikan Indonesia. Lalu, bagaimana Indonesia sekarang ini? Ada sekitar 29,89 juta penduduk miskin selain itu masih banyak daerah yang mengalami kekeringan dan kelaparan. Tak kalah penting hingga 25 Juli 2011 terdapat hampir sejumlah 50 juta siswa miskin, di antaranya 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sudah sangat jelas bahwa Indonesia membutuhkan orang-orang berpendidikan (dan berakhlak mulia) untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik. Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia memiliki orang-orang tersebut? Jika "ya", mengapa Indonesia masih seperti itu? Apa yang terjadi pada para cendekiawan Indonesia? Salah satu jawaban yang dapat muncul adalah Brain Drain.
Mungkin sekarang ada yang bertanya-tanya, apa itu brain drain? Hm..secara singkatnya brain drain dapat diartikan sebagai fenomena di mana para ilmuwan/saintis/cendekiawan suatu negara bekerja, tinggal, dan berkeasi di negara lain. Nah, yang akan coba saya ulas adalah brain drain di Indonesia, terutama pada para saintis. Mungkin semua orang sudah tahu bahwa banyaaaak sekali pelajar Indonesia yang menjuarai Olimpiade Internasional, tapi lalu kuliah dan bekerja di negara lain. Mungkin ada pula yang pernah menonton acara televisi tentang orang-orang yang sukses, tetapi di negara orang. Itulah Brain Drain. Dewasa ini, Indonesia masih dijerat berbagai masalah yang bersifat darurat seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sehingga pemerintah perlu memberikan konsentrasi yang tinggi pada penyelesaian permasalahan tersebut. Sehingga, cendekiawan terutama ilmuwan/saintis cenderung kurang mendapatkan perhatian. Hal tersebut terlihat dari pernyataan LIPI yang hanya mendapatkan anggaran sebesar 0.8% dari APBN (kurang dari 1%). dana tersebut kemudian digunakan 40% untuk penelitian dan 60% untuk biaya rutin sehingga secara keseluruhan dana penelitian adalah 0.03% dari Produk Domestik Bruto. Apabila dibandingkan dengan negara lain, anggaran penelitian negara Malaysia sebesar 1.5% PDB, Cina menuju 2% PDB, sementara Jepang dan Inggris lebih dari 2%. Sedangkan investasi penelitian yang ideal adalah 1% dari PDB. Selain itu, perbedaan gaji dari para saintis di Indonesia dan beberapa negara lain cukup signifikan. Yakni sebagai berikut :
Gaji Tiap Bulan
Jepang : Rp 600.000.000,-
Amerika : Rp 90.000.000,-
Malaysia : Rp 45.000.000,-
Indonesia : Rp 5.000.000,-
Oleh karena itu tak heran apabila para ilmuwan Indonesia lebih memilih untuk berkarier di luar negeri. Bukan hanya itu, bahkan mereka dapat menghasilkan berbagai hal positif dari kiprahnya di luar negeri, karena adanya hal lain yang menjadi daya tarik bagi para ilmuwan, yakni adanya fasilitas yang memadai di luar negeri, sementara di Indonesia fasilitas tersebut dinilai sangat kurang oleh Endang Sukara, Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Padahal sebenarnya rakyat Indonesia sangat membutuhkan para ilmuwan tersebut. Mengapa demikian? Karena saintis/ilmuwan dapat memberikan kontribusi dalam sains serta teknologi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia.
Lalu, seperti apa dampak dari kurangnya perhatian tersebut? Ternyata hal itu menjadi penyebab diincarnya para ilmuwan Indonesia. Beberapa bahkan menghasikan prestasi diantaranya Yogi Ahmad Erlangga yang berhasil memecahkan persamaan Helmholtz yang bermanfaat untuk menentukan lokasi minyak bumi serta berguna untuk industri radar, penerbangan, dan kapal selam. Tapi sayangnya beliau lebih dikenal sebagai matematikawan Belanda dari pada Saintis Indonesia. Selain beliau, masih ada banyak lagi ilmuwan Indonesia yang berprestasi di luar negeri, bukan di Indonesia. Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan saintis di Indonesia? Meningkatkan perhatian pemerintah sudah pasti, lalu apakah menaikkan gaji akan menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak, tetapi diperlukan pula penyediaan fasilitas dan peningkatan motivasi para saintis.
Apabila kita berbicara mengenai pengabdian pada negara, tentu takkan lepas dari nasionalisme yang juga terikat pada heroisme. Coba kita tengok lagi ke belakang, para pendiri bangsa kita, apakah mereka mendapatkan bayaran harta atas apa yang mereka perjuangkan -dalam hal ini kemerdekaan Indonesia? Justru sebaliknya, banyak yang rela mengorbankan harta, jiwa dan raganya untuk kemerdekaan tersebut. Heroisme dan nasionalisme, itulah yang perlu ditingkatkan bukan hanya pada para cendekiawan tetapi seluruh generasi muda agar mau berjuang dan memajukan bangsa Indonesia. Kita tidak dapat menyatakan bahwa para saintis yang berkiprah di luar negeri tidak memiliki nasionalisme, karena pada kenyataannya mereka pun memerlukan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan dan karier mereka. Segala aksi pasti terjadi karena adanya sebab. Oleh karenanya, nasionalisme bukanlah hal yang dapat dilihat dari satu sisi saja. Bisa jadi mereka berkarier di negara orang, tetapi hati dan jiwa mereka tetap berada di nusantara. Semoga saja apa yang saya tulis ini dapat bermanfaat dan mampu membangkitkan semangat generasi muda untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan mau berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab serta bermartabat dengan kegigihan dan semangat perjuangan yang tinggi di dunia ini :) .
gambar diperoleh dari berbagai sumber hasil browsing di images.google.com
0 komentar:
Posting Komentar